Indonesia diperkirakan akan menghadapi krisis air bersih pada tahun 2045. Laporan dari berbagai lembaga, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengungkapkan bahwa sejumlah wilayah di Indonesia, terutama di Jawa, Bali, dan daerah-daerah lain yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi, akan mengalami kelangkaan atau krisis air bersih yang semakin parah. Krisis ini diprediksi akan semakin mendalam akibat berbagai faktor yang saling berinteraksi, seperti perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk, dan pengelolaan sumber daya air yang kurang optimal.
Perubahan iklim menjadi salah satu faktor utama yang berperan dalam terjadinya krisis air bersih. Dengan perubahan pola curah hujan dan ketidakpastian musim, suplai air menjadi tidak terdistribusi dengan baik. Musim kemarau yang lebih panjang dan intensitas hujan yang tak terduga mengakibatkan banyak daerah mengalami kekeringan yang parah. Sebaliknya, daerah yang terkena curah hujan tinggi sering kali terjadinya banjir yang merusak infrastruktur dan mengurangi kualitas air yang ada. Kondisi ini membuat pengelolaan air menjadi semakin sulit dan kompleks.
Selain itu, laju pertumbuhan penduduk yang pesat juga turut meningkatkan kebutuhan akan air bersih. Kebutuhan air untuk rumah tangga, pertanian, industri, dan keperluan lainnya semakin meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi dan peningkatan populasi. Namun, penyediaan air yang terbatas dan tidak merata, ditambah dengan buruknya infrastruktur air di beberapa daerah, menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi air. Banyak wilayah yang telah lama kekurangan akses terhadap air bersih, dan diperkirakan akan semakin parah seiring berjalannya waktu.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian lebih terhadap isu krisis air ini dengan berbagai upaya mitigasi. Namun, kenyataannya banyak dari upaya tersebut yang belum cukup efektif dalam mengatasi masalah ini. Salah satu tantangan terbesar adalah ketergantungan pada sumber daya air yang terbatas dan belum adanya sistem pengelolaan air yang terintegrasi dan berkelanjutan di banyak wilayah. Beberapa daerah yang memiliki akses air bersih yang lebih baik, seperti di Jawa, Bali, dan Sumatera, juga mengalami tekanan yang cukup besar karena meningkatnya urbanisasi dan industrialisasi.
Sebagai solusi jangka panjang, banyak ahli merekomendasikan upaya konservasi air yang lebih intensif dan pengelolaan sumber daya air yang lebih bijaksana. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan teknologi embung dan sumur resapan. Embung, yang merupakan sebuah waduk kecil yang berfungsi untuk menampung air hujan, dapat digunakan untuk mengatur ketersediaan air terutama di musim kemarau. Selain itu, sumur resapan yang dapat menyerap air ke dalam tanah juga dapat membantu mengurangi potensi banjir serta meningkatkan kapasitas penyerapan air tanah yang sangat dibutuhkan selama musim kemarau.
Namun, upaya-upaya tersebut membutuhkan kerjasama yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Pemerintah harus memperkuat regulasi dan memberikan insentif bagi sektor swasta untuk turut serta dalam pembangunan infrastruktur air. Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberikan edukasi mengenai pentingnya hemat air dan menjaga kualitas sumber air yang ada di sekitar mereka. Masyarakat yang lebih sadar akan pentingnya keberlanjutan air dapat menjadi garda terdepan dalam upaya pelestarian sumber daya air.
Berdasarkan data yang ada, sekitar 9,6% dari luas wilayah Indonesia diperkirakan akan mengalami kelangkaan air pada tahun 2045. Wilayah-wilayah yang sudah lama mengalami kekurangan air, seperti Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, diperkirakan akan menjadi daerah yang paling terpengaruh. Bahkan, wilayah-wilayah di sekitar ibu kota Jakarta juga akan merasakan dampaknya jika tidak ada langkah-langkah yang lebih efektif untuk menjaga ketersediaan air bersih. Tanpa adanya solusi yang tepat dan cepat, masalah krisis air bersih ini dapat menjadi bencana yang merusak kehidupan banyak orang.
Namun, ada juga optimisme bahwa Indonesia bisa mengatasi krisis air bersih jika langkah-langkah preventif diambil sejak dini. Salah satu kunci untuk mengatasi krisis ini adalah dengan menciptakan sistem pengelolaan air yang lebih berkelanjutan dan berbasis pada pemanfaatan teknologi terbaru. Selain itu, keberadaan infrastruktur yang baik dan merata di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi faktor penting dalam memastikan bahwa krisis air tidak terjadi.
Tantangan terbesar dalam menghadapi krisis air bersih ini adalah bagaimana mengelola sumber daya air yang terbatas. Pengelolaan yang baik meliputi berbagai aspek, mulai dari pencegahan pencemaran air, pengurangan pemborosan air, hingga pembangunan infrastruktur air bersih yang efisien. Pemerintah harus dapat membuat kebijakan yang tepat agar distribusi air bisa lebih merata dan tepat sasaran. Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan juga menjadi salah satu solusi yang dapat membantu mengatasi masalah ini.
Sebagai tambahan, penting bagi masyarakat untuk terlibat dalam usaha pelestarian sumber daya air. Misalnya dengan mengurangi penggunaan air secara berlebihan, membangun sistem sumur resapan di rumah, atau ikut serta dalam program penghijauan yang dapat membantu menjaga keberadaan sumber mata air. Tanpa partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, upaya mengatasi krisis air bersih akan menjadi jauh lebih sulit.
Pada akhirnya, meskipun krisis air bersih menjadi ancaman serius bagi Indonesia pada tahun 2045, dengan kesadaran kolektif dan upaya-upaya yang tepat krisis ini bisa dicegah. Jika setiap pihak bergerak bersama-sama untuk mengatasi masalah ini, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya air dan memastikan bahwa generasi mendatang tetap memiliki akses terhadap air bersih yang mereka butuhkan. Krisis air ini bukanlah sesuatu yang tidak dapat dihindari, asalkan ada tekad dan komitmen yang kuat untuk melindungi sumber daya air yang ada.
Sumber: Youtube
“Waspada Krisis Air Bersih pada 2045”